Perlukah Seragam Sekolah?. Banyak pelajar yang tidak setuju
adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri,
biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses
keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan
menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan “selingan bisnis”
oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi.
Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam
menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada
siswa sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan
seragam sekolah diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang
maupun jenis pendidikan. Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya
seragam yang dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih
(baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah). Sementara di
Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru
(celana atau bagian bawah), sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat
Atas (SMA/MA) berwarna putih (baju/bagian atas) abu-abu (celana atau
bagian bawah). Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku
secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada
yang menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula
yang menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari
sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan
berseragam sekolah disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan
jilbab bagi siswa perempuan, atau bercelana panjang pada siswa
laki-laki).
Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management,
saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan
kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu
mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski
ketentuan “seragam standar nasional” masih tetap menjadi utama dan tidak
ditinggalkan.
Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam
telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara
ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya,
bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang
sangat ketat, kerapkali “memakan korban” bagi siswa yang melanggarnya,
mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai
dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment).
Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan
mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang
pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak
sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya
dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak
mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa
keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat
meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family).
Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta,
yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali
hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa
diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang
berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat
menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat
menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non
akademik.
Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada
umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan
seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa
SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang
memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang
signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada
keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan
untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa. Kenapa tidak diberikan
kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa
SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan
kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah
Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi
hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya.
Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah
pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah
bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang
dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang
akademik maupun non akademik.
0 komentar
Posting Komentar